Berdamai Dengannya

Aku bersyukur karena masa-masa itu kini terlewat sudah. Di dunia perkuliahan (khususnya di prodi yang aku ambil) tak lagi ku harus banyak berinteraksi dengannya. Dan aku bahagia pernah mengalami struggle yang cukup keras dengannya dulu.

Dia adalah matematika. Dia mengajariku arti perjuangan..

Mungkin bagimu biasa saja, tapi biarkan aku bercerita sedikit tentang pengalamanku bersama mata pelajaran satu itu.

Ketika awal aku masuk MAN, setelah menjalani seminggu masa orientasi dan seminggu matrikulasi, kami mulai berhadapan dengan atmosfer akademik yang luar biasa keras disana. Aku menjumpai teman-teman berotak jenius, guru-guru luar biasa handal, dan soal-soal level olimpiade yang dikeluarkan saat pelajaran di kelas. Dengan kemampuan otakku yang begini, aku termasuk yang cukup tertatih-tatih. Karena aku berasal dari SMP Negeri (termasuk yang sangat minoritas kalau di IC, karena mayoritas diambil dari pondok pesantren dan MTs), di satu sisi aku harus mati-matian mengejar ketertinggalanku dalam pelajaran Bahasa Arab (yang aku tau waktu itu cuma hadza-hadzihi), Sejarah Kebudayaan Islam, Al-Qur'an dan Hadits, Aqidah Akhlak, dan kawan-kawan, sekaligus beradaptasi dengan horrornya mata pelajaran yang lain.

Masa-masa itu adalah salah satu masa terberat dalam hidupku. Sudah stres karena tak biasa jauh dari rumah, kepercayaan diriku sebagai salah satu lulusan terbaik saat di SMP anjlok-jlok-jlok ketika dihadapkan dengan realita baru yang harus kuhadapi.

Kalian tau berapa nilai ulangan harian matematika pertamaku di IC?

Dua puluh tiga.

Iya, dua puluh tiga dari skala seratus.

Dan selama sebulan pertama di IC, kami siswa baru belum boleh menghubungi orang tua lewat telepon maupun dijenguk. Gimana nggak bikin pengen kabur dari asrama?

Iya, aku stres berat ketika itu. Aku menjalani remedial, dan tidak tuntas juga.
Reremedial, masih belum tuntas.
Rereremedial, fiuuh, alhamdulillah, akhirnya aku lolos juga~

Lalu aku belajar. Ternyata, memang begitu. Di IC, kami bisa tuntas di suatu ujian ketika kami benar-benar sudah paham. Dan itu rasanya lega luar biasa :")

Rereremedial nyatanya bukan hanya sekali itu harus kuhadapi. Tapi dalam hampir setiap ulangan matematika dari kelas satu hingga kelas tiga, aku sudah biasa menghadapinya. Mengulang berkali-kali. Dan lama-lama memang jadi kebal. Hehehe.

Ini adalah salah satu curahan hatiku ketika sedang gila-gilanya menghadapi matematika, yang kutulis ketika kelas dua MAN. Waktu itu aku benar-benar sedang tidak bisa berdamai dengan matematika, bahkan sedang dalam kondisi siaga perang. 
Bab Trigonometri dan Lingkaran gak tuntas-tuntas.. malah setelah remed aja masih dapat angka empat. Dan beginilah jadinya :)


Hei.      
Aku akan bercerita padamu tentang temanku. Hmm, sebenarnya aku tak yakin, layakkah ia kusebut sebagai “teman”? Saat ku iseng melongok di kamus, definisi teman kurang lebih adalah: seseorang yang kau kenal dan kau memiliki ikatan emosi dengannya.
Jadi baiklah, meski dengan setengah hati, aku disini akan menyebutnya sebagai temanku. Mengapa setengah hati? Well, karena sebenarnya ikatan emosiku dengannya ─ terutama akhir-akhir ini ─ sedang tidak baik. Dengarkan dulu, karena bisa jadi ia adalah temanmu juga!

Aku tak tahu sejak kapan aku mengenalnya. Ia datang dan masuk kedalam kehidupanku secara halus dan perlahan-lahan, tanpa ku sadari.
Sejak aku berumur sekitar dua tahun, orangtuaku mengenalkanku padanya. Tidak secara langsung, tapi dengan bahasa lebih jinaknya ─ “belajar berhitung”.  Saat itu tidak ada masalah, dia ramah dan baik-baik saja. Kadangkala ia membuat ayahku atau ibu guru di TK menghadiahiku sebutir permen karena aku bisa menjawab pertanyaan dua tambah tiga sama dengan berapa dan sejenisnya. Aku senang, dan mungkin ia juga senang.
Memasuki SD, aku masih terlalu polos dan tidak menyadari bahwa makhluk itu mulai memaksaku untuk mau tidak mau semakin dekat dengannya. Ia ada di jadwal pelajaran sekolah hampir setiap hari. MATEMATIKA. Begitulah namanya tertulis. Sebagai bagian dari kehidupanku, ia masih jinak dan bisa diajak bekerjasama. Setidaknya, Ia bisa membuat bunda tersenyum bangga saat melihat kertas-kertas ulangan matematika ku. Ya,  saat itu semua masih baik-baik saja.

Tapi saat aku duduk dikelas tujuh, ia mulai menampakkan keegoisannya. Aku sering bertengkar dengannya, namun ujung-ujungnya aku yang dibuatnya menangis. Ia menerorku dengan jurus barunya yang bernama aljabar. Ia tidak lagi hanya berwujud angka-angka, namun ada x, y, z, eksponen-eksponen, serta embel-embelnya yang belum bisa dicerna otakku saat itu. Ia mulai membuatku stress, dan disinilah remedial pertamaku harus kuhadapi. Semenjaki itulah kami tidak lagi seakur dulu. Ia mulai belajar mengecewakanku, dengan jurus-jurusnya yang ternyata bukan hanya aljabar.
Di sekolah kita sekarang ini, tak perlulah banyak kuceritakan tentang dirinya. Yang jelas, ia memecah rekor sebagai penyumbang terbanyak dalam daftar remedialku. Hampir setiap ulangan harus kuhadapi kenyataan itu, dengan nilai yang bervariasi, mulai dari yang nyaris lolos hingga yang sangat jauh dibawah KKM. Aku mulai mempertanyakan, kenapa ia begitu abstrak padahal jelas-jelas ialah rajanya ilmu pasti? Meski aku berusaha untuk biasa saja, tapi ia tetap membuatku galau gelisah gundah gulana. Sebenarnya aku ingin sekali bisa berdamai dengannya. Tapi bagaimana?

Mungkin aku harus terus membersihkan hati agar bisa akur dengannya lagi seperti saat kecil dulu. Kalau dulu kita bisa menerima sesuatu yang sebelumnya asing bagi kita dengan hati riang, kenapa sekarang tidak?

Kawan, jika kau mengalami persoalan yang sama denganku, mungkin ada baiknya kita belajar menerima matematika dan kawan-kawannya sebagaimana adanya. Mungkin jika kau tulus bersahabat dengan mereka, mereka bisa jadi lebih jinak. Selagi kau masih bisa banyak bergelut dengannya, sucikanlah niat dan melangkahlah dengan hati yang ikhlas. Karena suatu hari nanti.. kau pasti ‘kan merindukan saat-saat dikejar-kejar remedial yang bertumpuk.. Jalani saja, karena semua ini adalah bagian dari proses..

---

Benar, masa-masa seperti itu memang ngangenin kok.
Ingat, dulu kamu pernah berjuang begitu keras. Sampai bercucuran air mata kamu berusaha biar bisa tuntas. Lalu apa alasan sekarang jadi demikian letoy?

Yuk, introspeksi. Yuk, dibakar lagi semangat berkaryanya!
Man jadda wajada. Insyaa allah :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar